Petitum Permohonan |
DASAR HUKUM PENGAJUAN PRAPERADILAN PARA PEMOHON
- Bahwa berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan:
“Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
- Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
- Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
- Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”
- Bahwa mengenai objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:
“Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
- sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
- ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”
- Bahwa selanjutnya melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada Amar Putusan point ke- 2 pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
- Bahwa dengan demikian berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 tersebut diatas, Maka PARA PEMOHON dalam hal ini berhak untuk melakukan Upaya hukum Praperadilan atas Penetapan Tersangka terhadap diri PARA PEMOHON;
URAIAN PERSANGKAAN
- Bahwa sekira pada tanggal 17 November 2024, pukul 14.00 WIB telah terjadi penangkapan terhadap petugas loket pintu masuk Pantai Wisata Ngentup desa Bandungrejo Kec.Bantur yang dilakukan oleh Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Malang (Satreskrim Polres Malang) terhadap Petugas Loket yang sedang berjaga di Pintu Masuk Pantai Ngentup, Desa Bandungrejo, Kec. Bantur, Kab. Malang, yang diduga melakukan tindak pidana Penggelapan atas sejumlah uang yang di dapat dari penarikan uang karcis masuk dari pengunjung yang hendak memasuki area Pantai Ngentup, Pantai Banyu Meneng, dan Pantai Selok. Dengan cara meminta uang pembayaran karcis masuk dan uang parkir mobil, namun tidak diiringi dengan memberikan uang karcis masuk dan uang parkir mobil kepada pengunjung tersebut. Yang mana pengunjung yang menggunakan kendaraan roda empat,diperkirakan adalah anggota Unit I Satreskrim Polres Malang. Sehingga kemudian dilakukan penangkapan,terhadap PARA PEMOHON, selanjutnya PARA PEMOHON di bawa menuju Kantor Kepolisian Resort Malang, kemudian dilakukan pemeriksaan, penyidikan, penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan.
FAKTA KEJADIAN
- Bahwa PARA PEMOHON merupakan para pengurus Kelompok Tani Hutan (KTH) Ngudi Makmur, yang dalam hal ini diberikan kewenangan untuk
melakukan pemanfaatan Wisata Pantai Ngentup, Pantai Banyu Meneng, dan Pantai Selok. Berdasarkan Surat Ketetapan Kementrian Perhutanan tentang Ijin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS), Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Perhutani KPH Malang, serta Surat Ketetapan Kepala Desa Bandungrejo, Kec. Bantur, Kab. Malang;
- Bahwa PEMOHON I dalam hal ini adalah Ketua Kelompok Tani Hutan Ngudi Makmur selaku Penanggung Jawab operasional wisata Pantai Ngentup, Pantai Banyu Meneng, dan Pantai Selok. Sedangkan PEMOHON II merupakan Sekretaris Kelompok Tani Hutan Ngudi Makmur;
- PARA PEMOHON menolak dengan tegas uraian kronologis atas peristiwa yang di duga tindak pidana Penggelapan sebagaimana dimaksud, sebab pada faktanya sesaat setelah petugas loket luar menerima sejumlah uang pembayaran karcis masuk di Lokasi Wisata Pantai Ngentup, petugas loket luar berjalan menuju petugas loket dalam untuk meminta karcis, dan ketika petugas loket dalam telah merobek karcis untuk di serahkan, pengunjung dalam mobil yang di duga anggota kepolisian Unit I Satreskrim Polres Malang tersebut telah keburu masuk kedalam, sehingga apa yang disebutkan dengan sengaja tidak memberikan karcis masuk adalah tidak benar;
- Bahwa Petugas Jaga loket pada waktu kejadian sebagaimana di maksud adalah PEMOHON II (Petugas Loket Dalam) dengan seseorang yang bernama . SUKADI (Petugas Loket Luar);
- Bahwa Adapun PEMOHON I tidak sedang berada di tempat kejadian perkara yakni di Loket Pintu Masuk Pantai Ngentup, karena PEMOHON I sedang melakukan kontroling diarea Wisata Pantai Banyu Meneng;
- Bahwa kemudian PEMOHON I yang sedang melakukan kontroling di area Wisata Pantai Banyu Meneng mendapat kabar dari salah seorang pekerja di Pantai yang menyatakan bahwasanya PEMOHON I dicari oleh anggota kepolisian Satreskrim Polres Malang, sehingga PEMOHON I kemudian mendatangi Loket Pintu masuk Wisata Pantai Ngentup;
- Bahwa pada saat PEMOHON I mendatangi Tempat Kejadian Perkara yakni Loket Pintu Masuk Pantai Ngentup, anggota kepolisian Satreskrim Polres Malang menangkap PEMOHON I dan PEMOHON II untuk kemudian di bawa ke Kantor Kepolisian Resor Malang guna dilakukan pemeriksaan;
- Bahwa kemudian TERMOHON menerbitkan Surat Perintah Penyidikan, Surat Ketetapan Penetapan Tersangka, Surat Perintah Penangkapan, serta Surat Perintah Penahanan tehadap diri PARA PEMOHON sebagaimana berikut:
- Surat Perintah Penyidikan, SP. Dik/656/IX/2024/Reskrim Tanggal 18 Nopember 2024. a.n TERLAPOR MUHAMMAD ZAINUL AFKAR & JUKIANTO (PEMOHON I & PEMOHON II);
- Surat Ketetapan Penetapan Tersangka, Nomor. S.Tap/227/XI/2024/Reskrim Tanggal 18 November 2024, a.n MUHAMMAD ZAINUL AFKAR (PEMOHON I);
- Surat Perintah Penangkapan Nomor. SP.Kap/229/XI/2024/Reskrim, Tanggal 19 Nopember 2024 a.n MUHAMMAD ZAINUL AFKAR (PEMOHON I);
- Surat Perintah Penahanan Nomor. SP.Han/200/XI/2024/Reskrim, Tanggal 19 Nopember 2024, a.n MUHAMMAD ZAINUL AFKAR (PEMOHON I);
- Surat Ketetapan Penetapan Tersangka, Nomor. S.Tap/228/XI/2024/Reskrim Tanggal 18 November 2024, a.n JUKIANTO (PEMOHON II);
- Surat Perintah Penangkapan Nomor. SP.Kap/228/XI/2024/Reskrim, Tanggal 19 Nopember 2024 a.n JUKIANTO (PEMOHON II);
- Surat Perintah Penahanan Nomor. SP.Han/200/XI/2024/Reskrim, Tanggal 19 Nopember 2024, a.n JUKIANTO (PEMOHON II);
PENETAPAN TERSANGKA YANG DI PAKSAKAN AKIBAT PENANGKAPAN TANPA SURAT PERINTAH DENGAN DALIH TERTANGKAP TANGAN
- Bahwa PARA PEMOHON menolak dengan tegas Penangkapan yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Unit I Satreskrim Polres Malang, tanpa Surat Perintah Penangkapan, padahal sebagaimana dalam ketentuan Pasal 18 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang pada pokoknya menyatakan:
“Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.”
Meskipun terdapat pengecualian sebagaimana di sebutkan di dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang pada pokoknya menyatakan:
“Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dulakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat”
Namun dalam Penangkapan yang di lakukan kepada PARA PEMOHON tidak dapat dikualifikasi sebagai Tertangkap Tangan mengingat PARA PEMOHON tidak melakukan kejahatan yang dipersangkakan sebagaimana Surat Perintah Penyidikan dengan dugaan melakukan Tindak Pidana Penggelapan sebagaimana diatur didalam Ketentuan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Khususnya PEMOHON I, yang mana PEMOHON I tidak melakukan atau turut serta melakukan dugaan Tindak Pidana Penggelapan sebagaimana di maksud, karena PEMOHON I saat terjadi peristiwa tersebut sedang melakukan kontroling di area Pantai Banyu Meneng, tidak berada di loket Pintu Masuk Pantai Banyu Meneng;
- Bahwa setalah dilakukan penangkapan dan penahanan terhadap diri PEMOHON, Termohon untuk kemudian TERMOHON mengeluarkan Surat Perintah Penangkapan Nomor : SP.Kap/229/XI/2024/Reskrim tanggal 18 Nopember 2024 dan Surat Perintah Penyidikan Nomor : SP.Dik/656/XI/2024/Reskrim tanggal 18 November 2024 oleh TERMOHON atas diri PARA PEMOHON a.n MUHAMMAD ZAINUL AFKAR (PEMOHON I) serta Surat Perintah Penangkapan Nomor. SP.Kap/228/XI/2024/Reskrim, Tanggal 19 Nopember 2024 dan Surat Perintah Penyidikan Nomor : SP.Dik/656/XI/2024/Reskrim tanggal 18 November 2024 a.n JUKIANTO (PEMOHON II). Hal ini menunjukkan bahwasanya Penyidik berpendapat PARA PEMOHON bukan orang yang tertangkap tangan, sehingga diperlukan Surat Perintah Penyidikan dan Surat Perintah Penangkapan, untuk menangkap PARA PEMOHON. Hal ini sejalan sebagaimana dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.105/Pid.Pra/2024/PN.Jkt.Sel, Pemohon a.n Shabirin Noor (Gubernur Kalimantan Selatan), yang mana Hakim Tunggal pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengadili dan memeriksa perkara tersebut Mengabulkan Permohonan Pemohon, dengan Pertimbangan bahwasanya Pemohon dalam perkara tersebut tidak termasuk dalam Operasi Tertangkap Tangan karena Penyidik KPK telah mengeluarkan Surat Perintah Penangkapan, yang mana artinya Penyidik KPK berpendapat bahwasanya Pemohon bukan orang yang tertangkap tangan. Maka untuk itu dalam perkara ini dengan dikeluarkannya Surat Perintah Penangkapan oleh TERMOHON, maka dalam perkara ini telah jelas dan terang terhadap diri PEMOHON bukanlah sebagai orang yang Tertangkap Tangan;
PENETAPAN TERSANGKA YANG TIDAK DIDAHULUI PEMANGGILAN UNTUK DILAKUKAN PEMERIKSAAN LEBIH DAHULU
- Bahwa selanjutnya oleh karena, PARA PEMOHON tidak dapat dikualifikasi sebagai pelaku kejahatan yang tertangkap tangan, maka Penetapan Tersangka hanya dapat dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan Pemanggilan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana;
- Bahwa terhadap dugaan Tindak Pidana Penggelapan sebagaimana disangkakan kepada PARA PEMOHON tersebut, Laporan Polisi yang dijadikan dasar untuk menjerat PARA PEMOHON, dilakukan setelah Penangkapan sebagaimana Laporan Polisi Nomor : LP/B/426/XI/2024/SPKT/SATRESKRIM/POLRESMALANG/POLDA JAWA TIMUR, tanggal 18 November 2024, sehingga hal tersebut telah mencederai nilai-nilai hak asasi, tindakan kesewenang-wenangan Aparat Penegak Hukum (Kepolisian) yang bermaksud menegakan hukum dengan melanggar hukum, Sehingga dapat dikatakan bahwasanya Penetapan Tersangka terhadap diri PARA PEMOHON adalah tindakan kesewenang-wenangan, sangatlah dipaksakan dan merupakan tindakan melanggar hukum yang dilakukan justru oleh Penegak Hukum dalam hal ini Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Malang;
- Bahwa dapat dipahami, frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14 (patut diduga), Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya minimal 2 (dua) alat bukti, serta berlandaskan kepada Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan c,terhadap Terduga /calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia).
Artinya, sebelum PARA PEMOHON ditetapkan sebagai seorang Tersangka haruslah dilakukan Pemanggilan oleh TERMOHON kepada PARA PEMOHON untuk dilakukan Klarifikasi dan Pemeriksaan untuk menentukan apakah terhadap diri PARA PEMOHON telah nyata melakukan tindak pidana yang dituduhkanya dan unsur-unsurnya telah terpenuhi;
- Bahwa berdasarkan Fakta Hukum tersebut karena Penetapan Tersangka terhadap PARA PEMOHON yang dilakukan TERMOHON tanpa adanyanya pemanggilan yang dilakukan guna pemeriksaan terlebih dahulu terhadap PARA PEMOHON sebagai calon tersangka, maka demi hukum Penetapan Tersangka atas diri PARA PEMOHON yang dilakukan oleh TERMOHON adalah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, Standar Operasional Prosedur Kepolisian Republik Indonesia, dan sangat beralasan apabila Penetapan Tersangka atas diri PARA PEMOHON batal demi hukum;
- Bahwa Mahkamah Konstitusi menganggap syarat minimum 2 (dua) alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh Penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu;
- Bahwa sebagaimana diketahui PARA PEMOHON tidak pernah dilakukan pemanggilan untuk pemeriksaan dalam kapasitas sebagai Saksi, Terduga atau calon Tersangka, akan tetapi PARA PEMOHON langsung dilakukan Penangkapan dan Penetapan Tersangka oleh TERMOHON, sehingga PARA PEMOHON tidak diberi Hak untuk melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepadanya. PARA PEMOHON hanya diperiksa untuk pertama kali pada saat telah dilakukan Penangkapan yang dilakukan tanpa Surat Perintah Penangkapan, padahal senyatanya sebagaimana diuraikan dalam sub bagian sebelumnya yang mana PARA PEMOHON tidak dapat dianggap sebagai orang yang Tertangkap Tangan;
- Bahwa TERMOHON tidak memenuhi asas praduga tak bersalah sebagaimana diatur dalam KUHAP. Dengan demikian tindakan TERMOHON tersebut dikategorikan telah melanggar ketentuan Pasal 183, Pasal 21, Pasal 27 KUHAP, artinya cacat prosedur dalam menetapkan PARA PEMOHON sebagai tersangka, atau dapat diartikan juga bahwa TERMOHON telah berbuat sewenang-wenang dan melanggar aturan undang-undang dalam menetapkan PARA PEMOHON sebagai Tersangka;
- Bahwa menurut Eddy O.S Hiariej, dalam bukunya yang berjudul Teori dan Hukum Pembuktian, untuk menetapkan seseorang sebagai Tersangka, Penyidik haruslah melakukannya berdasarkan “bukti permulaan”. Menurut beliau bahwa alat bukti yang dimaksudkan disini adalah sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 184 KUHAP, apakah itu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, keterangan terdakwa ataukah petunjuk. Beliau menegaskan bahwa kata-kata ‘bukti permulaan’ dalam Pasal 1 butir 14 KUHAP, tidak hanya sebatas alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP, namun juga dapat meliputi barang bukti yang dalam konteks hukum pembuktian universal yang dikenal dengan istilah physical evidence atau real evidence. Selanjutnya untuk menakar bukti permulaan, tidaklah dapat terlepas dari pasal yang akan disangkakan kepada tersangka. Pada hakikatnya pasal yang akan dijeratkan berisi rumusan delik yang dalam konteks hukum acara pidana berfungsi sebagai rujukan bukti. Artinya, pembuktian adanya tindak pidana tersebut haruslah berpatokan kepada elemen-elemen tindak pidana yang ada dalam suatu pasal dalam rangka mencegah kesewenang-wenangan penetapan seseorang sebagai tersangka ataupun penangkapan dan penahanan, maka setiap bukti permulaan haruslah dikonfrontasi antara satu dengan lainnya termasuk pula dengan calon tersangka. Mengenai hal yang terakhir ini, dalam KUHAP tidak mewajibkan penyidik untuk memperlihatkan bukti yang ada padanya kepada Tersangka, akan tetapi berdasarkan doktrin, hal ini dibutuhkan untuk mencegah apa yang disebut dengan istilah unfair prejudice atau persangkaan yang tidak wajar;
- Bahwa ditegaskan Eddy O.S Hiariej tersebut di atas, bahwa dalam konteks hukum pidana, pembuktian merupakan inti dari persidangan Perkara Pidana, karena yang dicari dalam hukum pidana adalah kebenaran materiil. Kendatipun demikian pembuktian dalam Perkara Pidana sudah dimulai sejak tahap penyelidikan untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Pada tahap ini sudah terjadi pembuktian, dengan tindakan penyidik mencari barang bukti, maksudnya guna membuat terang suatu Tindak Pidana serta menentukan atau menemukan tersangkanya. Dengan demikian maka dapat dimengerti, bahwa pembuktian dilihat dari perspektif Hukum Acara Pidana yakni ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran, baik oleh hakim, penuntut umum, terdakwa dan penasehat hukum, kesemuanya terikat pada ketentuan dan tata cara, serta penilaian terhadap alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Tidak dibenarkan untuk melakukan tindakan yang leluasa sendiri dalam menilai alat bukti, dan tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang;
- Bahwa dengan demikian jelas tindakan TERMOHON dengan melakukan penangkapan tanpa didahului dengan pemeriksaan calon tersangka dengan perkara yang dituduhkannya merupakan tindakan yang tidak sah dan tidak berdasar hukum, sehingga sangat nyata dan berdasar apabila yang Mulia Majelis Hakim memiliki alasan menurut hukum untuk membatalkan Surat Penetapan Tersangka terhadap diri PARA PEMOHON
PENETAPAN TERSANGKA YANG TIDAK MEMENUHI SYARAT DILENGKAPINYA BUKTI PERMULAAN
- Bahwa selanjunya tindakan TERMOHON terhadap PARA PEMOHON tidak dapat dikualifikasi sebagai pelaku kejahatan yang tertangkap tangan, yang mana Penetapan Tersangka hanya dapat dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan Pemanggilan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana, serta dalam melakukan serangkaian proses penyelidikan dan penyidikan termasuk didalamnya melakukan penggeledahan dan penyitaan serta pemeriksaan terhadap saksi-saksi baik saksi korban dalam perkara a quo (Perhutani) maupun saksi-saksi yang lain haruslah sesuai ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka terhadap Perolehan alat bukti yang dilakukan oleh TERMOHON yang dilakukan sebagai akibat dari proses penyelidikan dan penyidikan yang meliputi penangkapan sewenang-wenang tersebut harus dikualifikasi sebagai alat bukti yang diperoleh secara melawan hukum; sehingga tidak terpenuhinya alat bukti yang sah menurut hukum serta tidak mempunyai kekuatan pembuktian.
- Bahwa kembali PARA PEMOHON tegaskan bahwasanya frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14 (patut diduga), Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya minimal dua alat bukti, serta berlandaskan kepada Pasal 184 KUHAP;
- Bahwa ketentuan Alat Bukti dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian (Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti);
- Bahwa alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP tersebut diatas juga harus diperoleh berdasarkan cara-cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 angka 3.11 yang dalam Pertimbangan Hukum yang merupakan kaidah hukumnya menyatakan:
“alat bukti yang diperoleh secara tidak sah tidak mempunyai nilai pembuktian sehingga harus dikesampingkan oleh hakim atau dianggap tidak mempunyai nilai pembuktian oleh pengadilan;”
- Bahwa senada dengan Putusan Mahkamah Konstitusei tersebut diatas, Dalam kerangka teoretis, menurut doktrin Exclusionary Rules atau Ex Rules juga menegaskan bahwa perolehan suatu alat bukti dengan cara yang tidak sah, menyebabkan alat bukti tersebut tidak dapat dipergunakan dalam proses pembuktian di persidangan;
- Bahwa untuk itu dalam praktek pengadilan (yurisprudensi) berkaitan dengan cara memperoleh alat bukti yang tidak sah, juga bisa dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1531 K/Pid.Sus/2010 yang membatalkan putusan judex facti dengan pertimbangan hukumnya adanya rekayasa keterangan saksi dari Kepolisian dan perilaku pemerasan, dan memvonnis bebas kepada Terdakwa. Demikian pula pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1614 K/Pid.Sus/2012 yang membatalkan dakwaan dan tuntutan akibat adanya rekayasa alat bukti dari tingkat penyidikan;
- Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam perkara a quo Alat bukti yang diperoleh dengan cara melanggar hukum tidak bisa digunakan sebagai alat bukti dan tidak punya nilai pembuktian sehingga harus dikesampingkan, dan dalam hal penetapan tersangka tidak dapat dikualifikasi sebagai bukti permulaan yang cukup. Maka Penetapan Tersangka tehadap diri PARA PEMOHON yang dilakukan oleh TERMOHON haruslah dinyatakan tidak sah, dan batal demi hukum;
Bahwa berdasarkan alasan alasan tersebut di atas, PARA PEMOHON memohon dengan hormat kepada Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen Cq.Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini berkenan memberikan putusan dengan amar sebagai berikut:
- Mengabulkan Permohonan Praperadilan PARA PEMOHON untuk seluruhnya;
- Menyatakan Proses Penetapan Tersangka kepada PEMOHON I berdasarkan Surat Ketetapan Penetapan Tersangka, Nomor. S.Tap/227/XI/2024/Reskrim Tanggal 18 November 2024, a.n MUHAMMAD ZAINUL AFKAR tidak sah dan batal demi hukum;
- Menyatakan Proses Penetapan Tersangka kepada PEMOHON II berdasarkan Surat Ketetapan Penetapan Tersangka, Nomor. S.Tap/228/XI/2024/Reskrim Tanggal 18 November 2024, a.n JUKIANTO tidak sah dan batal demi hukum;
- Menyatakan tindakan TERMOHON menetapkan PARA PEMOHON sebagai tersangka dugaan Tindak Pidana Penggelapan oleh Kepolisian Resor Malang (TERMOHON) adalah tidak sah dan tidak berdasar hukum;
- Menetapakan Surat Ketetapan Penetapan Tersangka, Nomor. S.Tap/227/XI/2024/Reskrim Tanggal 18 November 2024, a.n MUHAMMAD ZAINUL AFKAR (PEMOHON I) batal demi hukum;
- Menetapkan Surat Ketetapan Penetapan Tersangka, Nomor. S.Tap/228/XI/2024/Reskrim Tanggal 18 November 2024, a.n JUKIANTO (PEMOHON II) batal demi hukum;
- Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh TERMOHON yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri PARA PEMOHON oleh TERMOHON;
- Memerintahkan kepada TERMOHON untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada PARA PEMOHON;
- Memerintahkan TERMOHON untuk melepaskan PARA PEMOHON dari penahanan yang dilakukan di Rumah Tahanan Negara Polres Malang atau Jenis Penahanan lainnya;
- Memulihkan hak PARA PEMOHON dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnyaseperti sediakala;
- Membebankan biaya perkara kepada Negara.
Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Kepanjen Malang yang memeriksa Permohonan aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). |