Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI KEPANJEN
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2025/PN Kpn ZUBAIDI AZIZ bin SALIM KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI JAWA TIMUR II Minutasi
Tanggal Pendaftaran Kamis, 02 Jan. 2025
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2025/PN Kpn
Tanggal Surat Kamis, 02 Jan. 2025
Nomor Surat PN KPN-6776574D927EB
Pemohon
NoNama
1ZUBAIDI AZIZ bin SALIM
Termohon
NoNama
1KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI JAWA TIMUR II
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan
A. LANDASAN FILOSOFIS PERMOHONAN PRAPERADILAN
1. Bahwa harus dipahami, secara filosofis tujuan Hukum Acara Pidana tidaklah untuk memproses pelaku tindak pidana, melainkan untuk mencegah tindakan sewenang - wenang negara (in casu aparat penegak hukum) terhadap individu.
2. Bahwa landasan filosofis tersebut didasarkan pada fungsi instrumentasi asas legalitas dalam hukum acara pidana yang mengandung makna, bahwa dalam batas-batas yang dibenarkan oleh undang-undang aparat penegak hukum diperkenankan untuk melakukan Tindakan terhadap individu yang diduga telah melakukan tindak pidana, tentunya dengan tetap merujuk pada due process of law yang berlaku secara universal.
3. Bahwa disadari ataupun tidak bekerjanya hukum acara pidana, sedikit banyaknya akan mengekang hak asasi manusia karena seseorang yang dinyatakan sebagai tersangka, sebab terhadap tersangka dapat dilakukan upaya paksa mulai dari penggeledahan, penyitaan, pencekalan, pemblokiran rekening sampai pada penangkapan dan penahanan, padahal belum tentu hasil akhir dari proses tersebut akan menyatakan bahwa tersangka bersalah.
4. Bahwa dengan demikian, sifat maupun karakteristik hukum acara pidana senantiasa berasaskan keresmian, hal mana merujuk pada tiga postulat dasarnya yakni lex scripta, lex certa, dan lex stricta. Lex scripta berarti hukum acara pidana haruslah tertulis, lex certa berarti hukum acara pidana haruslah jelas (tidak ambigu), dan lex stricta berarti hukum acara pidana haruslah ditafasirkan secara ketat.
5. Bahwa perlu diingat secara historis prinsip-prinsip yang menjadi inspirasi lahirnya lembaga praperadilan bersumber dari Habeas Corpus Act dalam sistem peradilan anglo saxon, dimana Habeas Corpus Act memberikan jaminan mendasar terhadap HAM (Hak Asasi Manusia), khususnya hak atas kemerdekaan. Habeas Corpus Act memberikan hak pada seseorang menuntut pejabat pelaksana hukum pidana formil agar tidak melanggar hukum dalam melaksanakan tugasnya, tegasnya pejabat pelaksana hukum pidana formil harus melaksanakan tugasnya secara sah dan sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku. Hal itu, tentunya untuk menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana atau terdakwa benar-benar telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang berlaku serta sesuai dengan jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia.
6. Bahwa keberadaan lembaga praperadilan di Indonesia yang diatur dalam KUHAP, tidak bisa dikatakan tidak identik dengan lembaga pre trial di Amerika Serikat yang menerapkan prinsip-prinsip dalam Habeas Corpus Act, yang mana Habeas Corpus Act menjelaskan, bahwa pada dasarnya di dalam masyarakat yang beradab, negara harus senantiasa menjamin kemerdekaan seseorang.
7. Bahwa secara jelas dan tegas maksud dari diadakannya lembaga praperadilan dalam sistem hukum pidana Indonesia adalah sebagai sarana kontrol atau pengawasan horizontal untuk menguji keabsahan implementasi wewenang aparat penegak hukum, antara lain penyelidik/penyidik (baik penyidik Polri atau PNS) maupun penuntut umum, sehingga hal tersebut juga merupakan upaya koreksi terhadap penggunaan wewenang yang dilaksanakan secara sewenang-wenang dengan maksud/tujuan lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP, untuk menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap orang (in casu hak asasi Pemohon).
8. Bahwa selain itu, eksistensi lembaga praperadilan memberikan pesan dan peringatan, agar aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya haruslah selalu mengedepankan prinsip kehati-hatian sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
9. Bahwa sebagaimana telah diuraikan di atas, keberadaan lembaga praperadilan sebagai sarana pengawasan dan koreksi terhadap pelaksanaan wewenang aparat penegak hukum untuk menjamin perlindungan HAM, pada dasarnya juga telah sesuai dengan konsiderans Menimbang huruf (a) dan (c) KUHAP sehingga dapat dikatakan menjadi spirit atau jiwanya KUHAP, adapun secara tekstual bunyi konsiderans KUHAP huruf (a) dan (c) tersebut menyatakan:
(a) “Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
(b) “Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing kearah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.”
Konsiderans di atas ditegaskan kembali dalam Penjelasan Umum KUHAP, khususnya pada angka 2 paragraf ke-6 yang menyatakan:
“Pembangunan yang sedemikian itu di bidang hukum acara pidana bertujuan, agar masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya dan agar dapat dicapai serta ditingkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing kearah tegak mantabnya hukum, keadilan dan perlindungan yang merupakan pengayoman terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia, ketertiban dan kepastian hukum demi tegaknya Republik Indonesia sebagai Negara Hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.”
Lebih dari itu, Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 menentukan:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Sehingga dengan demikian, secara jelas dan tegas UUD NRI 1945 mengatur perlindungan dan kepastian hukum yang adil bagi setiap warga negara.
10. Bahwa permohonan yang dapat diajukan dalam pemeriksaan praperadilan, selain dari persoalan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan maupun ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (Pasal 77 KUHAP), juga dapat meliputi penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan sebagaimana tertuang dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU- XII/2014 yang berbunyi:
“1.3. Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan”
“1.4. Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.”
11. Bahwa tindakan penyidik untuk menentukan atau menetapkan status tersangka terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana adalah bentuk wewenang penyidik dalam proses penyidikan yang diatur dalam KUHAP, sehingga proses penetapan tersangka terhadap seseorang juga harus sesuai prosedur hukum sebagaimana ditentukan dalam KUHAP atau perundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut berarti, tahapan-tahapan dalam proses penetapan seseorang haruslah dilakukan secara benar dan tepat, dan dengan demikian asas kepastian hukum dapat terjaga dengan baik, hingga pada gilirannya hak asasi yang akan dilindungi dapat dipertahankan. Jika prosedur penetapan seseorang sebagai tersangka sebagaimana yang diatur dalam KUHAP atau peraturan perundang- undangan yang berlaku tidak diikuti, maka jelas penetapan tersangka tersebut menjadi cacat hukum, dan karenanya harus dinyatakan tidak sah dan dibatalkan.
12. Bahwa penetapan status tersangka terhadap seseorang, termasuk namun tidak terbatas penetapan status tersangka terhadap PEMOHON yang tidak sesuai dengan hukum atau tidak sah, jelas memberikan hak hukum bagi seseorang (in casu PEMOHON) untuk melakukan upaya hukum koreksi dan atau pengujian terhadap keabsahan penetapan tersangka dimaksud melalui lembaga praperadilan. Penggunaan hak untuk melakukan koreksi dan atau pengujian terhadap penetapan tersangka tersebut selaras dengan spirit atau ruh atau jiwa KUHAP sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahkan juga telah sesuai dengan ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan:
“Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.”
B. FAKTA-FAKTA HUKUM YANG DIJADIKAN DASAR PENGAJUAN PERMOHONAN PRAPERADILAN PEMOHON
1. Bahwa perkara a quo berawal dari PEMOHON ditetapkan sebagai tersangka oleh TERMOHON dengan dugaan melakukan tindak pidana cukai yaitu tanpa memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 menjalankan kegiatan pabrik dengan maksud mengelakkan pembayaran cukai dan/atau tanpa izin membuka, melepas, atau merusak segel sebagaimana diatur dalam Pasal 50 juncto Pasal 57 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007.
2. Bahwa atas dugaan tindak pidana cukai tersebut, TERMOHON telah melakukan penyidikan dengan mengeluarkan/menerbitkan Surat, masing-masing sebagai berikut:
2.1. Surat Perintah Tugas Penyidikan Nomor: SPTP- 02/WBC.12/BD.04/PPNS/2018, tanggal 19 Juli 2018;
2.2. Surat Perintah Tugas Penyidikan Nomor: SPTP- 02A/WBC.12/BD.04/PPNS/2018, tanggal 02 November 2018;
2.3. Surat Perintah Tugas Penyidikan Nomor: SPTP- 02C/WBC.12/BD.04/PPNS/2019, tanggal 15 Januari 2019;
3. Bahwa setelah melakukan penetapan status tersangka pada PEMOHON, terhadap diri PEMOHON telah dilakukan pencekalan dengan maksud mencegah PEMOHON ke luar wilayah Indonesia sebagaimana Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Kep-46/D/Dip.4/03/2019 tentang Pencegahan Dalam Perkara Pidana, tanggal 5 Maret 2019, pada bagian konsiderans Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia tersebut, khususnya pada bagian membaca tertulis, “Surat Menteri Keuangan Indonesia Nomor : SR-70 MK.04/2019 tanggal 22 Pebruari 2019.”, sehingga jelas Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia dimaksud merupakan tindak lanjut atas penetapan tersangka PEMOHON oleh TERMOHON.
4. Bahwa PEMOHON baru mengetahui adanya pencekalan terhadap dirinya setelah PEMOHON menerima surat dengan perihal, “Pencegahan ke luar negeri a.n ZUBAIDI AZIZ” (PEMOHON) dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor: R - 283/D.2.Dip 4/03/2019, tertanggal 05 Maret 2019, dimana surat dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia tersebut dilampiri Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Kep-46/D/Dip.4/03/2019 tentang Pencegahan Dalam Perkara Pidana, tanggal 5 Maret 2019.
5. Bahwa PEMOHON sama sekali tidak pernah menerima tembusan surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan maupun Surat Penetapan Tersangka dari TERMOHON, dan PEMOHON baru mengetahui jika dirinya telah ditetapkan tersangka, setelah PEMOHON mendatangi Kanwil DJBC Jawa Timur II (Kantor TERMOHON) pada tanggal 16 Desember 2024 untuk mendapat informasi terkait pencekalan terhadap diri PEMOHON yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia atas rekomendasi dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Pada saat PEMOHON mendatangi Kantor TERMOHON tersebut, pihak TERMOHON baru memberikan informasi jika PEMOHON telah ditetapkan sebagai tersangka oleh TERMOHON, selain memberikan informasi tersebut TERMOHON juga baru memberikan beberapa surat kepada PEMOHON, diantaranya adalah Surat Penetapan Tersangka Nomor: 02/WBC.12/BD.04/PPNS/2019 tanggal 15 Januari 2019, surat tembusan dari Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan Nomor PDP-02/WBC.12/BD.04/PPNS/2019 tanggal 15 Januari 2019, sehingga praktis sejak saat itu, lebih tepatnya sejak PEMOHON mendatangi Kantor TERMOHON tersebut, PEMOHON juga baru menyadari tindak pidana yang disangkakan oleh TERMOHON kepada PEMOHON.
6. Bahwa selain PEMOHON tidak pernah menerima Surat Penetapan Tersangka dari TERMOHON, sebelum PEMOHON ditetapkan sebagai tersangka oleh TERMOHON, PEMOHON sama sekali tidak pernah menerima surat panggilan untuk dimintai keterangan baik sebagai saksi maupun sebagai calon tersangka dalam tahap penyelidikan maupun penyidikan dari TERMOHON.
7. Bahwa oleh karena PEMOHON tidak pernah menerima surat penetapan tersangka terhadap dirinya dari TERMOHON, dan PEMOHON sama sekali tidak pernah diperiksa/dimintai keterangan sebagai saksi maupun sebagai calon tersangka baik dalam tahap penyelidikan maupun tahap penyidikan, dimana belakangan PEMOHON baru mengetahui penetapan tersangka kepada dirinya oleh TERMOHON sebagai alasan utama diterbitkannya pencekalan (pencegahan) terhadap dirinya ke luar negeri sebagaimana Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia yang telah disebutkan sebelumnya, maka PEMOHON merasa sangat dirugikan oleh tindakan TERMOHON yang sewenang-wenang dimaksud.
C. ALASAN YURIDIS BAHWA PENETAPAN TERSANGKA TERHADAP PEMOHON DILAKUKAN SECARA SEWENANG-WENANG/TIDAK SESUAI DENGAN HUKUM ACARA YANG BERLAKU OLEH TERMOHON
1. Bahwa amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 nomor 2 menyebutkan:
“Pasal 109 ayat (1) Undang- Undang Nomor & Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umun" tidak dimaknai "penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”.”
2. Bahwa Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 Halaman 96 paragraf [3.13] alinea kedua menyebutkan:
“Bahwa Pasal 1 ayat (2) KUHAP termasuk dalam bab I Pasal 1 tentang ketentuan umum yang mengatur tentang pengertian penyidikan yang mengatakan, “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Adapun frasa dan guna menemukan tersangkanya harus ditafsirkan bersyarat yang didalilkan oleh Pemohon, menurut Mahkamah, sebenarnya sudah dipenuhi oleh Pasal tersebut, yaitu penyidik dalam rangka tindakan penyidikan melakukan suatu proses pengumpulan bukti yang dengan bukti tersebut kemudian penyidik menemukan tersangka dalam satu tindak pidana sehingga tidak serta merta penyidik menemukan tersangka sebelum melakukan pengumpulan bukti sebagaimana ditentukan dalam pasal aquo. Pasal 1 angka 2 KUHAP mengatur bagaimana penyidik menemukan tersangka sehingga pasal tersebut sudah jelas dan tidak perlu ditafsirkan.
“Menurut Mahkamah, norma tersebut sudah tepat karena memberikan kepastian hukum yang adil kepada warga negara Indonesia ketika akan ditetapkan menjadi tersangka oleh penyidik, yaitu harus melalui proses atau rangkaian tindakan penyidikan dengan cara mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut penyidik menemukan tersangkanya bukan secara subyektif penyidik menemukan tersangka tanpa mengumpulkan bukti”
Selanjutnya dalam pertimbangan paragraf [3.14] pada angka 5 disebutkan:
“KUHAP sebagai hukum formil dalam proses peradilan pidana di Indonesia telah merumuskan sejumlah hak tersangka/terdakwa sebagai pelindung terhadap kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Namun demikian, masih terdapat beberapa frasa yang memerlukan penjelasan agar terpenuhi asas lex certa serta asas lex stricta sebagai asas umum dalam hukum pidana agar melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyelidik maupun penyidik, khususnya frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Ketentuan dalam KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yaitu minimal dua alat bukti, seperti ditentukan dalam Pasal 44 ayat (2) yang menyatakan, “Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, ... dst”. Satu-satunya pasal yang menentukan batas minimum bukti adalah dalam Pasal 183 KUHAP yang menyatakan, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti ... dst: Oleh karena itu, dengan berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, menurut Mahkamah, agar memenuhi asas kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta memenuhi asas lex certa dan asas lex stricta dalam hukum pidana maka frasa“ bukti permulaan?, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup ”sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang- kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia). Artinya, terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya tersebut, tidak diperlukan pemeriksaan calon tersangka.”
“Menimbang bahwa pertimbangan mahkamah yang menyertakan pemeriksaan CALON TERSANGKA disamping minimum dua alat bukti tersebut diatas adalah untuk tujuan transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum orang ditetapkan sebagai tersangka sudah dapat memberikan keterangan yang seimbang dengan minimum dua alat bukti yang telah ditemukan oleh penyidik.”
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi di atas maka penetapan seseorang menjadi TERSANGKA harus melalui proses dan mekanisme yang benar dan mengharuskan adanya pemeriksaan CALON TERSANGKA sebelum seseorang ditetapkan sebagai TERSANGKA, agar CALON TERSANGKA dapat memberikan keterangan yang berimbang atas apa yang disangkakan kepadanya dalam proses penyidikan dan untuk menghindari kesewenang-wenangan Penyidik.
4. Bahwa pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas telah pula dijadikan dasar dalam pengambilan Putusan Praperadilan di Pengadilan Negeri Sleman melalui Putusan Nomor 11/Pid.Pra/2022/PN.Smn. yang pada halaman 40 – 41 (diakses dan diunduh pada jam 18.56 Wib, tanggal 18 Desember 2024 dari laman resmi Mahkamah Agung Republik Indonesia https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/zaed7b4ef4b7b210ad9f303833303536 ), dikutip sebagai berikut:
“Menimbang bahwa syarat penetapan seseorang untuk dijadikan Tersangka harus berdasarkan minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP dan mengenai penetapan CALON TERSANGKA memang tidak diatur dalam KUHAP, namun dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi No.21/PUU-XII/2014 dimana putusan tersebut menjelaskan penetapan Tersangka harus berdasarkan:
1. Minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana termuat dalam pasal 184 KUHAP dan;
2. Harus pula disertai dengan pemeriksaan calon tersangka.
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka penetapan Pemohon sebagai Tersangka tidak sah menurut hukum karena tidak pernah dilakukan pemeriksaan dalam kapasitasnya sebagai calon tersangka, dengan demikian petitum point ke-2 mengenai Penetapan Tersangka terhadap Pemohon berdasarkan Surat ketetapan Tersangka Nomor : S.Tap/174.a/1X/2022/Ditreskrimum, 15 September 2022, oleh Termohon adalah tidak sah menurut hukum pantas untuk dikabulkan;”
5. Bahwa fungsi dari adanya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan yang salah satunya ditujukan kepada TERLAPOR bukan TERSANGKA adalah merupakan bukti dimana Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan adalah untuk memberikan kesempatan bagi CALON TERSANGKA untuk memberikan keterangan yang berimbang atas dugaan tindak pidana yang disangkakan kepadanya.
6. Bahwa sebagaimana telah PEMOHON uraikan pada bagian ‘Fakta-Fakta Hukum yang Dijadikan Dasar Pengajuan Permohonan Praperadilan Pemohon’ pada huruf B di atas, faktanya PEMOHON sama sekali tidak pernah diperiksa/dimintai keterangan sebagai saksi baik dalam tahap penyelidikan maupun tahap penyidikan, maka dengan kata lain PEMOHON tidak pernah dimintai keterangan guna memberikan/menyampaikan keterangan yang seimbang sebagai CALON TERSANGKA atas dugaan tindak pidana yang disangkakan TERMOHON kepada PEMOHON, oleh karenanya perbuatan TERMOHON yang telah menetapkan PEMOHON sebagai tersangka hingga kemudian dilakukan pencekalan terhadap diri PEMOHON merupakan tindakan ceroboh (tidak didasari dengan prinsip kehati - hatian) yang bertentangan dengan KUHAP, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015.
7. Bahwa pada bagian konsinderans Surat Penetapan Tersangka Nomor: 02/WBC.12/DB.04/PPNS/2018 tanggal 15 Januari 2019, khususnya pada bagian ‘Mengingat’ angka 1, TERMOHON menyebut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sehingga jelas penetapan PEMOHON sebagai tersangka oleh TERMOHON juga seharusnya didasarkan pada KUHAP.
8. Bahwa berdasarkan seluruh uraian di atas, penetapan PEMOHON sebagai TERSANGKA oleh TERMOHON adalah salah satu bentuk nyata tindakan hukum, sehingga TERMOHON seharusnya tunduk dan patuh pada KUHAP, namun faktanya:
a. PEMOHON telah ditetapkan sebagai TERSANGKA oleh TERMOHON tanpa memberikan kesempatkan kepada PEMOHON untuk memberikan keterangan yang berimbang atas sangkaan dugaan tindak pindana yang disangkakan oleh TERMOHON kepada PEMOHON;
b. PEMOHON telah ditetapkan sebagai TERSANGKA oleh TERMOHON tanpa terlebih dahulu memberi tahu tentang perbuatan dugaan tindak pidana yang disangkakan kepada PEMOHON.
Bahwa oleh karenanya penetapan status TERSANGKA atas diri PEMOHON oleh TERMOHON merupakan perbuatan yang sewenang-wenang dan bertentangan dengan hukum serta cacat yuridis, dan oleh karena itu penetapan TERSANGKA atas diri PEMOHON oleh TERMOHON TIDAK SAH DAN TIDAK MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM MENGIKAT.
9. Bahwa oleh karenanya maka segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh TERMOHON yang berkaitan dengan penetapan TERSANGKA terhadap PEMOHON adalah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
10. Bahwa terlepas dari itu semua, pada seluruh surat-surat yang diberikan TERMOHON kepada PEMOHON sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, juga sama sekali tidak mengindikasikan dan atau merujuk pada Surat Perintah Penyelidikan, karena itu PEMOHON menduga dengan keras penyidikan yang dilakukan TERMOHON atas tindak pidana yang disangkakan kepada PEMOHON tanpa didahului dengan adanya proses penyelidikan, padahal PEMOHON tidak dalam keadaan tertangkap tangan sedang melakukan tindak pidana, oleh karena itu seharusnya tahap penyelidikan dilalui terlebih dahulu sebelum dilanjutkan pada tahap penyidikan atas dugaan tindak pidana yang disangkakan TERMOHON terhadap PEMOHON. Hal tersebut jelas tidak sesuai dengan definisi penyelidikan dan penyidikan yang ditentukan dalam KUHAP. Singkatnya, proses penyidikan dugaan tindak pidana yang disangkakan TERMOHON kepada PEMOHON juga tidak sesuai dengan proses penyidikan yang ditentukan dalam KUHAP.
Bahwa Pasal 1 angka 5 KUHAP menyatakan:
“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Dari ketentuan Pasal 1 angka 5 KUHAP tersebut dapat dipahami, bahwa sebelum dilakukan penyidikan, haruslah dilakukan proses penyelidikan guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Sedangkan penyidikan sendiri menurut Pasal 1 angka 2 KUHAP pengertian penyidikan adalah sebagai berikut:
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
Dari pengertian penyidikan menurut KUHAP tersebut perlu digaris bawahi frasa, “... serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.” Sehingga, dalam penyidikan harus dikumpulkan bukti dan bukti itulah harus dapat membuat terang/jelas tentang tindak pidana yang terjadi hingga tersangkanya dapat ditemukan. Hal tersebut juga berarti, penetapan seseorang sebagai tersangka harus didahului oleh pengumpulan bukti hingga bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana dan kemudian barulah tersangkanya dapat ditemukan. Dengan kata lain, penetapan tersangka terhadap seseorang haruslah didasari dengan adanya bukti yang telah berhasil dikumpulkan dalam tahap penyidikan (termasuk alat bukti keterangan saksi), namun ironisnya hingga saat ini dan meskipun PEMOHON telah bertanya kepada TERMOHON siapa saja saksi yang telah diperiksa dan kapan diperiksanya, PEMOHON tidak pernah mendapatkan jawaban secara jelas dari TERMOHON, padahal informasi terkait hal tersebut sangatlah penting bagi PEMOHON, utamanya untuk kepentingan pembelaan PEMOHON. Oleh karena itu pula, jelas dalam proses penyidikan dugaan tindak pidana yang disangkakan TERMOHON kepada PEMOHON sama sekali tidak dilakukan secara transparan dan melanggar hak asasi PEMOHON. Pendek kata, penyidikan yang dilakukan oleh TERMOHON atas dugaan tindak pidana yang disangkakan TERMOHON kepada PEMOHON yang PEMOHON duga keras tanpa didahului proses penyelidikan, padahal PEMOHON tidak dalam keadaan tertangkap tangan sedang melakukan tindak pidana jelas tidak sesuai dengan KUHAP dan tidak dilakukan secara transparan tersebut jelas-jelas telah melanggar hak asasi PEMOHON, termasuk namun tidak terbatas hak untuk mendapatkan proses peradilan yang fair. Oleh sebab itu, penyidikan atas dugaan tindak pidana yang disangkakan TERMOHON kepada PEMOHON adalah TIDAK SAH DAN TIDAK MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM MENGIKAT.
11. Bahwa oleh karena Surat Perintah Penyidikan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka TERMOHON haruslah diperintahkan untuk menghentikan seluruh proses penyidikan yang dilakukan oleh TERMOHON atas diri PEMOHON.
12. Bahwa selain dari pada itu, maka pelarangan berpergian ke luar negeri terhadap diri PEMOHON yang diterbitkan berdasarkan penyidikan TERMOHON atas dugaan tindak pidana yang disangkakan TERMOHON kepada PEMOHON juga harus dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
13. Bahwa dengan adanya penetapan PEMOHON sebagai TERSANGKA oleh TERMOHON yang sejak tanggal 15 Januari 2019 dan masih melekat pada diri PEMOHON yang hingga saat ini terhitung selama 6 (enam) tahun lamanya, jelas telah merusak karakter dan nama baik PEMOHON, maka TERMOHON harus diperintahkan untuk memulihkan hak hukum dan nama baik PEMOHON terhadap tindakan-tindakan yang telah dilakukan oleh TERMOHON.
14. Bahwa sebagai upaya pengujian dan sarana kontrol serta pengawasan horizontal terhadap keabsahan penggunaan wewenang TERMOHON atas penetapan TERSANGKA terhadap diri PEMOHON perlu dilakukan upaya praperadilan untuk menguji tentang tindakan TERMOHON yang menurut PEMOHON merupakan tindakan yang sewenang-wenang dan bertentangan dengan hukum.
D. PETITUM PERMOHONAN
Bahwa berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, maka sudah seharusnya menurut hukum PEMOHON menyampaikan permohonan kepada Yang Mulia Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen melalui Hakim pemeriksa dan pemutus perkara a quo, berkenan memeriksa dan menjatuhkan Putusan sebagai berikut:
1. Menerima dan mengabulkan Permohonan Praperadilan dari PEMOHON (ZUBAIDI AZIZ bin SALIM) untuk seluruhnya;
2. Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka dengan dugaan tindak pidana tanpa memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, menjalankan kegiatan pabrik dengan maksud mengelakkan pembayaran cukai, dan/atau tanpa Izin membuka, melepas, atau merusak segel sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai yang telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur II adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Menyatakan penetapan Tersangka terhadap PEMOHON berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor 02./WBC.12/BD.04/PPNS/2019 tertanggal 15 Januari 2019, oleh TERMOHON adalah tidak sah menurut hukum;
4. Memerintahkan kepada TERMOHON untuk menghentikan penyidikan sebagaimana:
a. Surat Perintah Tugas Penyidikan Nomor: SPTP-02/WBC.12/BD.04/PPNS/2018, tanggal 19 Juli 2018;
b. Surat Perintah Tugas Penyidikan Nomor: SPTP- 02A/WBC.12/BD.04/PPNS/2018, tanggal 02 November 2018; dan,
c. Surat Perintah Tugas Penyidikan Nomor: SPTP- 02C/WBC.12/BD.04/PPNS/2019, tanggal 15 Januari 2019;
yang menetapkan PEMOHON (ZUBAIDI AZIZ bin SALIM) sebagai Tersangka.
5. Menyatakan tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat larangan berpergian ke luar negeri terhadap PEMOHON sebagaimana Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Kep-46/D/Dlp.4/03/2019 tentang Pencegahan Dalam Perkara Pidana tanggal 5 Maret 2019.
6. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon;
7. Memulihkan hak hukum PEMOHON terhadap tindakan-tindakan yang telah dilakukan oleh TERMOHON.
8. Menghukum TERMOHON untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara a quo
Pihak Dipublikasikan Ya